News

Perjuangan Petani Kota Baru Lamsel di Tengah Ancaman Hukum

LAMPUNGVERSE.com –  Tini, seorang petani perempuan dari Kota Baru, Lampung Selatan, menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan ruang hidupnya.

Pada Rabu, 20 Oktober 2024, ia kembali dipanggil oleh Kepolisian Resor Lampung Selatan untuk memberikan keterangan.

Bersama ratusan petani lainnya, ia hadir dengan tekad untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai kriminalisasi terhadap petani kecil.

Kasus ini bermula pada Maret 2024 ketika Pemerintah Provinsi Lampung, melalui Badan Pengawasan Aset Daerah (BPKAD), melakukan penggusuran terhadap lahan yang digarap Bunda Tini.

Dua traktor besar menghancurkan tanaman singkong berusia tiga bulan yang menjadi harapan hidup keluarganya.

Singkong tersebut direncanakan untuk biaya pendidikan kedua anaknya, yang kini terancam putus sekolah.

Penggusuran ini tidak hanya merenggut mata pencaharian Bunda Tini, tetapi juga memicu proses hukum terhadapnya dan dua putrinya, serta anggota keluarga lainnya.

Mereka dituduh melanggar hukum, padahal mereka hanya berusaha mempertahankan hak atas ruang hidup mereka.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung mengecam tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap petani kecil. Dalam siaran persnya, LBH menyatakan bahwa pemerintah telah gagal melindungi hak asasi manusia, terutama bagi perempuan petani seperti Bunda Tini.

“Polres Lampung Selatan harus menghentikan proses ini dan melihat perkara secara utuh. Bunda Tini tidak melanggar hukum; ia hanya mempertahankan haknya sebagai warga negara,” tegas Wakil Direktur LBH Bandarlampung, Cik Ali.

LBH juga menyerukan agar pemerintah daerah melakukan introspeksi. “Pemprov Lampung seharusnya malu. Alih-alih melindungi warganya, mereka justru mengkriminalisasi petani kecil yang berjuang untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” tambahnya.

Akibat penggusuran ini, anak-anak Bunda Tini terpaksa menunda pembayaran biaya sekolah. Pendidikan adalah harapan keluarga ini untuk keluar dari kemiskinan. “Penggusuran tanpa solusi adalah bentuk ketidakadilan yang mengorbankan mereka yang paling rentan,” kata Cik Ali.

LBH Bandarlampung menyerukan agar kasus ini segera dihentikan. “Jika dibiarkan, ini akan menjadi catatan hitam penegakan hukum di Indonesia. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan mengkriminalisasi,” pungkas Cik Ali.

Kasus Bunda Tini mencerminkan realitas pahit yang sering dialami oleh petani kecil. Ketika mereka berjuang untuk mempertahankan hak atas tanah dan penghidupan, hukum sering kali tidak berpihak.

Perjuangan Bunda Tini kini menjadi simbol harapan bagi para petani yang tertindas. Sebagai bangsa yang berlandaskan hukum, Indonesia diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua warganya, terutama bagi mereka yang berjuang di tengah keterbatasan.

Exit mobile version